MenjagaBung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian Kenang-kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi Yang terampas dan yang terputus. Puisi tentang Hari Kemerdekaan 4. Mengenang Karya : Yuliani Megantari
Untuklebih jelasnya puisi yang menceritakan tentang kerinduan akan sosok bung karno disimak saja puisi berjudul bung aku rindu, dibawah ini. BUNG AKU RINDU Oleh : Jeff ana baba. 1// Engkau Bangkit yang terhimpit Busana kusam melekat mencekik Nisan berhalaman bunga mekar terjaga Tangis dari langit menetes titipan yang kacau. Ya.. engkau yang esa
Dalampuisi yang berjudul "Aku Melihat Indonesia" berikut ini, Bung Karno seperti biasanya, membanngkitkan dan mengobarkan semangat untuk mencintai tanah air Indonesia. Dalam sebuah acara Rakernas Partai Demokari Indonesa Perjuangan (PDIP), puisi karya Bung Karno tersebut, dibacakan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (12/1/2020).
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Berikut ini tiga contoh puisi tentang Hari Lahir Pancasila yang bisa Anda gunakan atau bacakan pada 1 Juni mendatang. - Hari Lahir Pancasila adalah peringatan sejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato yang mengandung lima sila sebagai dasar negara Indonesia. Salah satu cara untuk memperingati peristiwa tersebut adalah dengan membacakan puisi tentang Hari Lahir Pancasila. Apakah Anda juga ditugaskan untuk membuat dan membacakan puisi dengan tema tersebut? Jika, ya, maka Anda patut menyimak tiga contoh puisi tentang Hari Lahir Pancasila berikut ini. Puisi pertama Pancasila, Dasar Negara Pancasila, dasar negaraLahir dari perjuangan bangsaMelawan penjajah yang rakusMembela tanah air yang kaya Pancasila, dasar negaraDitetapkan pada tanggal satuBulan Juni tahun empat limaOleh Bung Karno yang berwibawa Pancasila, dasar negaraMengandung lima sila utamaKetuhanan, kemanusiaanPersatuan, kerakyatan, keadilan Baca Juga Tinggal Baca! Ini Teks Doa Hari Lahir Pancasila untuk 1 Juni 2023 PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Hey bung ?Bisakah jiwamu pulang barang sebentar...Menengok kami,Yang tinggal di negerimu ini...Yang kau bangun...Dari perjuangan...Hey bung...?Lihatlah atap negrimu yang indah.... Dindingnya sudah dipenuhiDengan kesakitan ....Dan lantainya mulai terpecah belah....Bagaimana kita harus memperbaikinya?Lihatlah cucumu...Sering sakit dan kelaparan...Bagaimana kami ingin mengolah pangan?Dan bantulah kami siramiKebunmu yang makinKering mengenaskan.....Dan kemana lagi cucumuMengembala hewan ternak bapaknya.....Hey bung?Bisakah engkau ajari kami tentang makna dari persatuan?Dan berikan lah kami ilmuTentang semangat atas perjuangmu...Yang selama ini engkau tempuh,Dan yang engkau jalani selama ini....Hey bung?Berikan lah kami semua.... tentang semangat perjuanganmu Lihat Puisi Selengkapnya
Data buku kumpulan puisi Judul Puisi-puisi Revolusi Bung Karno, buku pertama Penulis Soekarno Cetakan I, Juni 2002 Penerbit Yayasan Seni dan Budaya Gema Patriot, Jakarta. Dicetak oleh Fitroh Art’s Printing, Jakarta Penyunting Maman S. Tegeg Pracetak Fakhri S. Antoni, Awal Tresnajaya, Amsar A. Dulmanan Desain cover Fikri Susilo W. Tebal xii + 127 halaman 94 puisi Pengantar Hj. Rachmawati Soekarnoputri Beberapa pilihan puisi Ir. Soekarno dalam Puisi-puisi Revolusi Bung Karno Sejarahlah yang Akan Membersihkan Namaku Dengan setiap rambut di tubuhku aku hanya memikirkan tanah airku Dan tidak ada gunanya bagiku melepaskan beban dari dalam hatiku kepada setiap pemuda yang datang kemari aku telah mengorbankan untuk tanah ini Tidak menjadi soal bagiku apakah orang mencapku kolaborator Aku tidak perlu membuktikan kepadanya atau kepada dunia, apa yang aku kerjakan Halaman-halaman dari revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Sukarno Sejarahlah yang akan membersihkan namaku dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 304 Aku Melihat Indonesia Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep Aku mendengar Lautan Hindia bergelora membanting di pantai Ngliyep itu Aku mendengar lagu, sajak Indonesia Jikalau aku melihat sawah-sawah yang menguning-menghijau Aku tidak melihat lagi batang-batang padi yang menguning menghijau Aku melihat Indonesia Jikalau aku melihat gunung-gunung Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet dan gunung-gunung yang lain Aku melihat Indonesia Jikalau aku mendengarkan Lagu-lagu yang merdu dari Batak bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan Aku mendengarkan Indonesia Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan Aku mendengar Indonesia Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio Aku mendengar Indonesia Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut Aku mendengarkan Indonesia Jikalau aku menghirup udara ini Aku tidak lagi menghirup udara Aku menghirup Indonesia Jikalau aku melihat wajah anak-anak di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar “Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!” Aku bukan lagi melihat mata manusia Aku melihat Indonesia dari buku “Bung Karno dan Pemuda”, hlm. 68-107 Menggerakkan Tenaganya Diberi hak-hak atau tidak diberi hak Diberi pegangan atau tidak diberi pegangan Diberi penguat atau tidak diberi penguat Tiap-tiap makhluk Tiap-tiap umat Tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak Pasti akhirnya bangkit Pasti akhirnya bangun Pasti akhirnya menggerakkan tenaganya Kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia Jangan lagi bangsa Walau cacing pun tentu berkeluget-keluget kalau merasa sakit! dari buku “Indonesia Menggugat”, hlm. 62 Kami Bukan Bangsa yang Pandir Ada sebabnya aku mengadakan perlawatan ini aku ingin agar Indonesia dikenal orang Aku ingin memperlihatkan kepada dunia bagaimana rupa orang Indonesia Aku ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kami bukan “Bangsa yang Pandir” seperti orang Belanda berulang-ulang mengatakan kepada kami Bahwa kami bukan lagi “Inlander goblok hanya baik untuk diludahi” seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali Bahwa kami bukan lagi penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan-majikan kolonial di masa silam dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 8 Putra Sang Fajar Abad ini adalah suatu zaman di mana bangsa-bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang Berkembangnya negara-negara sosialis yang meliputi seribu juta manusia Abad ini pun dinamakan abad atom dan abad ruang angkasa Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi kemanusiaan ini terpikat oleh suatu kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas kepahlawanan Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah sesungguhnya Dua sifat yang berlawanan Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet Aku bisa keras dan laksana baja dan aku bisa lembut berirama Pembawaanku adalah paduan dari pada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka memaafkan, akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang jerajak besi namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar Aku menjatuhkan hukuman mati namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu “hayo, nyamuk, pergilah jangan kau gigit aku” Karena aku terdiri dari dua belahan aku dapat memperlihatkan segala rupa aku dapat mengerti segala pihak aku memimpin semua orang boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seorang yang merangkul semuanya. Ibu telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda muka kami yang kecil tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa-apa ia tiada berkata apa-apa hanya memandang arah ke timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang Aku pun bangun dan mendekatinya diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya ia memelukku dengan tenang. Kemudian dia berbicara dengan suara lunak “Engkau sedang memandangi fajar, nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita. Karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing Kita orang jawa mempunyai satu kepercayaan bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu Jangan lupakan itu Jangan sekali-kali kau lupakan, nak bahwa engkau ini putra dari Sang Fajar.” Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru Karena aku dilahirkan di tahun 1901 Bagi Bangsa Indonesia abad ke sembilan belas merupakan zaman yang gelap sedangkan zaman sekarang baginya adalah zaman yang terang-benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus Orang yang percaya kepada tahyul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepercayaan lain kalau Gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat Jadi orang pun dapat mengatakan bahwa Gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya karena anak yang jahat lahir ke muka bumi ini Berlainan dengan pertanda-pertanda yang mengiringi kelahiran itu maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir Keadaan kami terlalu ketiadaan Satu-satunya orang yang menghadapi itu ialah seorang kawan dari keluarga kami seorang kakek yang sudah terlalu amat tua Dialah, dan tak ada orang lain selain orang tua itu yang menyambutku menginjak dunia ini. dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 24, 25, 26 Berpedomanlah pada Cita-cita Ya, kita hidup dalam dunia yang penuh ketakutan kehidupan manusia sekarang digerogoti dan dijadikan pahit-getir oleh rasa ketakutan Ketakutan akan hari depan ketakutan akan bom hidrogen ketakutan akan ideologi-ideologi Mungkin rasa takut itu pada hakekatnya merupakan bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri Sebab rasa takutlah yang mendorong orang berbuat tolol berbuat tanpa berpikir berbuat hal yang membahayakan Dalam permusyawaratan Tuan-tuan saya minta, jangan kiranya Tuan-tuan terpengaruh oleh ketakutan itu Sebab ketakutan adalah zat asam yang mencapkan perbuatan manusia menjadi pola yang aneh-aneh Berpedomanlah pada harapan dan ketetapan hati berpedomanlah pada cita-cita berpedomanlah pada impian dan angan-angan dari pidato “Presiden Soekarno pada Pembukaan Konperensi Asia-Afrika” 18 April 1955 Sinar Itu Dekat Jikalau kita insyaf bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima tetapi dalam memberi Jikalau kita semua insyaf bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; Jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa” Jikalau kita insyaf bahwa roch rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang satu yang berada di tengah-tengah kegelapan gulita yang mengelilingi kita ini pastilah persatuan itu terjadi dan pastilah Sinar itu tercapai juga Sebab Sinar itu dekat dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 23 Kemerdekaan Saya Bandingkan dengan Perkawinan Kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan ada yang berani kawin, lekas berani kawin ada yang takut kawin. Ada yang berkata Ah, saya belum berani kawin tunggu dulu gaji F 500 Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung sudah ada permadani sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet barulah saya berani kawin Ada orang lain yang berkata Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai satu meja kursi empat, “meja makan” lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur Ada yang lebih berani dari itu yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja dengan satu tikar dengan satu periuk dia kawin Marhaen dengan satu tikar, satu gubuk kawin Lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur kawin Sang nDara yang mempunyai rumah gedung Electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun kawin Belum tentu mana yang lebih gelukkig belum tentu mana yang lebih bahagia Sang nDara dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul atau Sarinem dengan Samiun yang mempunyai satu tikar satu periuk, saudara-saudara! Tekad hatinya yang perlu tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tiker dan satu periuk dan hati Sang nDara yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinderuitzet – buta 3 tahun lamanya dari buku “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945 Minum Seni dan Kultur Kita bergerak karena kesengsaraan kita Kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna Kita bergerak tidak karena ideal saja Kita bergerak karena ingin cukup makanan Kita bergerak karena ingin cukup pakaian ingin cukup tanah ingin cukup perumahan ingin cukup pendidikan ingin cukup minum seni dan kultur pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialism sebab stelsel inilah yang sebagai kemandegan tumbuh di atas tubuh kita hidup dan subur dari pada kita hidup dan subur dari pada tenaga kita rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita Oleh karena itu maka pergerakan kita janganlah pergerakan yang kecil-kecilan pergerakan kita haruslah pada hakekatnya suatu pergerakan yang ingin merobah sama sekali sifatnya masyarakat Suatu pergerakan yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat sampai ke sulur-sulurnya dan akar-akarnya suatu pergerakan yang sama sekali ingin menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme Pergerakan kita janganlah hanya suatu pergerakan yang ingin rendahnya pajak jangan hanya ingin tambahnya upah janganlah hanya ingin perbaikan-perbaikan kecil yang bisa tercapai sekarang tetapi ia harus menuju kepada suatu transformasi yang mengjungkir-balikkan sama sekali sifatnya masyarakat itu dari sifat imperialisme dan kapitalisme menjadi sifat yang sama rasa sama rata Pergerakan kita harus suatu pergerakan yang pada hakekatnya menuju kepada suatu “Ommekeer” susunan sosial. dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 280-281 Janganlah Menjadi Politikus Salon Janganlah menjadi politikus salon! Lebih dari separo politisi kita adalah politisi salon yang mengenal Marhaen hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira dapat menyelesaikan revolusi sekarang ini meski tingkatannya tingkatan nasional sekalipun tidak dengan rakyat murba Politikus yang demikian itu sama dengan seorang jenderal yang tak bertentara Kalau ia memberi komando dia seperti orang berteriak di padang pasir Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata Jika tidak terjun di kalangan mereka mendengarkan kehendak-kehendak mereka menyadarkan mereka akan diri sendiri membuat revolusi ini revolusi mereka? dari buku “Sarinah”, 1947 hal. 229-230 Cari Sendiri Het hoe kita harus cari sendiri. Het hoe bagaimana itu harus kita cari sendiri sistem-sistem apa yang harus kita pakai Tidak bisa saudara teorikan apalagi dengan membuka, hanya membuka saja textbook-textbook, sampai saudara punya kepala botak tidak akan saudara bisa menemukan het hoe itu Tetapi kita harus cipta sendiri, cari sendiri. This is revolution Revolusi adalah mencari, saudara-saudara tidak ada revolusi yang sudah ready for use tidak, cari sendiri Tidak ada satu revolusi atau dua revolusi yang sama Jangan kira revolusi Indonesia itu sama dengan revolusi Sovyet Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mesir Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Kuba Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi RRC Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mexico Revolusi adalah milik dan tugas kewajiban bangsa dan kewajiban dari pada bangsa itu ialah mencari sendiri Jangan menjiplak, oleh karena tidak bisa dijiplak Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Mexico bubrah revolusi kita Kalau saya atau kita menjiplak revolusi United Arab Republik bubrah revolusi kita Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Yugoslavia bubrah revolusi kita Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Polandia bubrah revolusi kita Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Uni Sovyet bubrah revolusi kita Kalau saya atau kita menjiplak revolusi Amerika, 1776 dulu itu bubrah revolusi kita Tidak, kita harus mencari sendiri dari buku “Ilmu dan Perjuangan”, hlm. 21-22 Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah Sekali lagi saya ulangi kalimat ini membuang hasil-hasil positif dari masa yang lampau hal itu tidak mungkin sebab kemajuan yang kita miliki sekarang ini adalah akumulasi dari pada hasil-hasil perjuangan di masa yang lampau Seorang pemimpin yaitu Abraham Lincoln berkata “One connot escape history” orang tak dapat melepaskan diri dari sejarah Saya pun berkata demikian! Tetapi saya tambah. Bukan saja “One connot escape history” tetapi saya tambah “Never leave history” Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah! Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum engkau akan berdiri di atas kekosongan lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu paling-paling hanya akan berupa amuk amuk belaka Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap! dari “Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1963”, hlm. 210 Semangkuk Kecil Nasi Sehari Kita negara-negara berpolitik bebas di dunia yang mengakui dan menerima kenyataan adanya bangsa-bangsa yang baru bangkit mempunyai kewajiban yang mengikat untuk memperoleh pengertian dan rakyat-rakyat di negara lain untuk mengatakan terus terang kepada mereka bahwa mereka tidak dapat terus hidup di atas berjuta-juta rakyat yang miskin Masyarakat-masyarakatnya mereka mewah berlimpah dibangun di atas keringat dan susah payah dan air mata dari jutaan manusia yang melalui malam senggang mereka tidak dengan mata melekat pada pesawat televisi tapi dalam kegelapan yang ditembus oleh nyala lilin yang sehari-harinya bukan dirundung oleh kepunyaan tetangga mereka tetapi oleh keinginan untuk memberi kepada anak-anak mereka semangkuk kecil nasi sehari dari “Pidato pada Konperensi Nonblok I, Beograd” Membangun Kebanggaan Manusia tidak hanya cukup untuk makan Sungguhpun gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang namun aku telah membangun gedung-gedung bertingkat sebuah jembatan berbentuk daun semanggi jalan raya yang hebat yang dikenal dengan Jakarta Bypass dan menamai jalan dengan nama-nama para pahlawan kami Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto dan lain-lain Banyak orang berhati katak dengan mentalitas warung kopi menghitung-hitung pengeluaran itu dan menuduhkan menghamburkan harta rakyat ini semua bukan untuk kejayaanku semua ini dibangun demi kejayaan bangsa supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia Tulang punggung tanah airku membeku ketika mendengar pertandingan Asian Games 1963 akan diadakan di ibukotanya Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia Kota-kota lain mempunyai stadion yang lebih besar tapi tak satu pun yang mempunyai atap melingkar seperti kepunyaan kami Yah, memberantas kelaparan memang penting akan tetapi memberi makan jiwa yang telah diinjak-injak dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggan mereka ini pun penting dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 444 Sarinah-Sarinah Tetapi pikiran saya terus melayang melayang satu soal soal wanita Kemerdekaan! Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat kemeerdekaan Tetapi, ya, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki Kemerdekaan ala Karini? Kemerdekaan ala Khalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay? Oleh karena soal perempuan adalah soal masyarakat maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan atau lebih tegas soal laki-laki dan perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan Sejak manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba dan belum mengenal rumah sejak “zaman Adam dan Hawa” kemanusiaan itu pincang terganggu oleh soal ini Manusia zaman sekarang mengenal “soal perempuan” Manusia zaman purbakala mengenal “soal laki-laki” Sekarang kaum perempuan duduk di tingkatan bawah di zaman purbakala kaum laki-laki duduk di tingkatan bawah Sekarang kaum laki-laki berkuasa di zaman purbakala kaum perempuanlah yang berkuasa Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki-laki perempuan selalu pincang dan kemanusiaan akan terus pincang selama saf yang satu menindas saf yang lain Harmoni hanya dapat dicapai kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain tetapi dua “saf” itu sama derajat – berjajar – yang satu di sebelah yang lain yang satu memperkuat kedudukan yang lain Tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri sebab siapa melanggar kodrat alam ini ia akhirnya niscaya digilas remuk redam oleh alam itu sendiri Alam benar adalah “sabar” alam benar tampak diam tetapi ia tak dapat diperkosa ia tak mau diperkosa ia tak mau ditundukkan ia menurut kata Vivekananda adalah “berkepala batu” dari buku “Sarinah”, hlm. 19 Keterangan - Kollontay seorang tokoh pergerakan wanita di Rusia, pada permulaan revolusi 1917 - Vivekananda seorang pejuang kemerdekaan India sebelum masa Gandhi Sudah Ber-Ibu Kembali Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnya semenjak sekar yang terkemudian sudah menjadi layu Tetapi sekarang bunga Indonesia sudah kembang kembali kembang ditimpa cahaya bulan persatuan indonesia dalam bulan yang terang-benderang ini berbaurlah segandi segala bunga-bungaan yang harum dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga sebagai hiasan alam yang diturunkan Tuhan Illahi Kembangnya bunga ini ialah bangunnya bangsa Indonesia menurut langkah yang terkemudian sekali didahului oleh bangunnya laki-laki Indonesia beserta pemudanya Langkah yang terkemudian tetapi jejak yang pertama sekali dalam sejarah Indonesia dan permulaan zaman baru Sudah lama Indonesia kehilangan ibu sudah lama Indonesia kehilangan puterinya tetapi berkat disinari cahaya persatuan Indonesia bertemulah anak piatu dengan ibu yang disangka sudah hilang berjabat tanganlah dengan puteri yang dikatakan sudah berpulang Pertemuan anak piatu dengan ibu kandung ialah saat yang semulia-mulianya dalam sejarah anak piatu yang ber-ibu kembali Saat ini tiada dapat dilupakan sedih dan suka pedih dan pilu bercampur-baur karena kenang-kenangan yang sudah berlalu Dan oleh karena nasib baru yang akan dimulai Baru sekarang Persatuan Indonesia ada romantiknya Apa gunanya gamelan dalam pendopo kalau tidak dibunyikan terletak saja jadi pemandangan kaum keluarga turun-temurun Gamelan Indonesia berbunyi kembali berbunyi dalam pendopo Indonesia dan melagukan persatuan Indonesia pada waktu bulan purnama raya penuh dengan bau bunga dan kembang yang harum Indonesia piatu sudah ber-ibu kembali dari buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”, hlm. 107 nb. Pada baris 9, ada kata “segandi” saya tak tahu apa arti kata itu, saya mencoba mereka-reka apakah ada kesalahan cetak, tapi tak juga ketemu, mungkin “segar di” Dikantongi oleh Tuhan Tatkala ibumu masih perawan bapak masih perjaka Lantas kita menjawab “Yah, kami waktu itu dikantongi Tuhan Dikantongi oleh Tuhan.” Maka pada satu saat Tuhan ini ingin meng-gumelar-kan kita ke dunia Bagaimana caranya apa diambil kantong Tuhan Kemudian … dijatuhkan dari langit? Tidak! Tuhan lantas menjodohkan Seorang pria dan seorang wanita Tuhan yang menjodohkan Saya tempo hari berkata jodoh itu adalah hak Tuhan Mati hak Tuhan Jodoh hak Tuhan Lahir hak Tuhan Tuhan menjodohkan seorang pria dan seorang wanita Pria dan wanita ini kataku jadikan dapur dari Tuhan Dapur untuk meng-gumelar-kan kita di dunia Nah, kita diprocotkan tidak di langit tidak di laut tetapi di procotkan di tanah air ini Yang dari tanah air inilah kita, saudara-saudara dapat makanan yang dari tanah air inilah kita dapat minuman yang dari tanah air inilah kita menghirup hawanya yang segar Pendek kata tanah airlah tempat kita dari masih bayi merah itu tumbuh menjadi manusia yang dewasa sekarang karena itu maka lantas aku mengambil konklusi hai, manusia, cintailah Tuhan yang dulu mengantongi engkau Cintailah ibu-bapakmu dapur yang dibuat Tuhan untuk meng-gumelar-kan engkau Cintailah tanah air yang di tempat itu engkau dapat minum, makan dan lain sebagainya dari buku “Ilmu dan Perjuangan”, hlm. 111 Musnahlah Kekayaan-kekayaan Itu Dengan perkataan lain kaum modal partikelir mempunyai kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami imperialisme-modern menghalang-halangi kemajuan pergaulan hidup kami imperialisme-modern membikin rakyat bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa Dan si buruh yang bagaimana Tuan-tuan Hakim! si buruh yang loonen-nya minimum loonen si buruh yang wirtschaft-nya minimum wirschaft! si buruh yang upahnya upah kokro Hati-Nasional tentu berontak atas kejahatan imperialisme-modern yang demikian itu Lagi pula siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnberdrijven partikelir yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir sebagai timah, arang batu, minyak Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu? Musnah musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami Musnah musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka dari buku “Indonesia Menggugat”, hlm. 58 Undang-undang Jiwa ular kambang dan jiwa inlander itulah racun yang menghinggapi kita di tahun-tahun yang terakhir ini Jikalau ingin merdeka sejati-jatinya merdeka milikilah jiwa yang merdeka milikilah jiwa yang besar Buktikanlah memiliki jiwa yang besar itu jiwa merdeka itu jiwa yang tak segan bekerja dan memberi jiwa yang dinamis yang bisa berdiri sendiri di atas kaki sendiri bukan jiwa yang meminta, merintih mengemis saja ke kanan dan ke kiri sambil bermimpi dapat mencapai derajat penghidupan yang makmur dengan seboleh-bolehnya tidak bekerja sama sekali Kita tidak hidup di alam impian kita hidup di alam kenyataan Kita tidak hidup di alam impian Kita hidup di alam kenyataan Kita tidak hidup di alam sorga Kita hidup di alam dunia Di dalam dunia itu untuk semua makhluk besar-kecil tiada undang-undang lain melainkan undang-undang yang berbunyi “Jikalau mau hidup, harus makan yang dimakan hasil kerja; jika tidak bekerja, tidak makan; jika tidak makan pasti mati!” Inilah undang-undangnya dunia Inilah undang-undangnya hidup Mau tak mau semua makhluk harus menerima undang-undang ini Terimalah undang-undang ini dengan jiwa besar dan merdeka jiwa yang tidak menengadah melainkan kepada Tuhan. dari buku “Amanat Proklamasi”, hlm. 63 Dimakan Api Unggun Saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api unggun sepotong dari pada ratusan atau ribuan kayu di dalam api unggun besar saya menyumbangkan sedikit kepada nyala api unggun itu tetapi sebaliknya saya dimakan oleh api unggun itu! Dimakan apinya api unggun dari buku “Tragedi Bung Karno” Pustaka Simponi 1978 Tentang Ir. Soekarno Tak ada biodata di buku ini, yang ini diambil dari sumber lain Bapak Proklamator Indonesia, terlahir dengan nama Koesnososro Soekarno, lahir 6 Juni 1901 di Jalan Pandean IV/40, Surabaya. Ayah, Raden Sukemi Sosrodihardjo dan ibu Ida Ayu Nyoman Rai. Pada usia hampir 13 tahun tamat SD bumiputera di Mojokerto, melanjutkan ke Sekolah Dasar Belanda lulus usia 14 tahun. Melanjutkan ke HBS Surabaya. Kemudian masuk ke Technische Hoge School di Bandung dan dapat gelar insinyur tahun 1925. Meninggal pada hari Minggu, 21 juni 1978. Catatan Lain Maman S. Tegeg, menulis semacam pengantar. Di tulisan yang bertanda Jakarta, 11 Pebruari 1998 itu, misalnya ia mengatakan”Walau kami sadar betul, bahwa Bung Karno tidak pernah menulis sajak namun Bung Karno pernah menulis cerita drama dengan judul Danau Tiga Warna, di masa pembuangannya di Ende.” lihat hlm vi-vii. Dalam pada itu, penyunting juga mengutip perkataan seseorang yang tak disebutkan namanya. Begini bunyinya “Karya Bung Karno, bukan saja berbobot politis, tetapi juga berbobot sastra,” demikian kata para sastrawan Perancis di Leiden beberapa tahun yang lalu. Dan berita ini pernah dimuat di harian Jawa Pos. – Nah, kata “para” itu bagi saya meragukan. Kebiasaan penyunting, yang juga saya ikuti, adalah menuliskan sumber buku di bawah puisi, lengkap dengan halamannya. Yang jadi soal, tak ada daftar pustaka di buku ini, jadi pembaca hanya mengira-ngira buku versi terbitan siapa dan tahun berapa diterbitkan? Buku ini, juga diantar oleh tulisan seorang anak Bung Karno, yaitu Hj. Rachmawati Soekarnoputri, dengan penanda tanggal 27 September 2011, Jakarta. Dan ini komentar saya tentang buku ini Saat ada banyak orang terhanyut oleh pidato politik Bung Karno yang berapi-api, ada segelintir orang yang menikmatinya sebagai deklamasi puisi. Barangkali karena itulah buku ini ada. Salam puisi.
puisi tentang bung karno